Sabtu, 13 Agustus 2016

TAUHID DAN ISTIQOMAH LANDASAN PEMBANGUNAN PRIBADI MUSLIM YANG UTAMA, MANDIRI DAN BERKEMAJUAN


Oleh : H. Yana Fajar FY. Bashori, S.Ag., M.Si 
اَلـحَمْدُلِلّهِ نَحْمَدُهُ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا أَمَرَ, حَمْدًا يُوَافِى نِعَمَهُ وَ يُكَافِئُ مَزِيْدَهُ, حَمْدًا كَمَا يَنْبَغِي لِـجَلاَلِهِ وَ عَظِيْمِ سُلْطَانِهِ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنسْتغْفِرُهُ وَنَعُوْذُبِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَن تَـجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرشِدًا
أَشْهَدُ أنْ لاَ إلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ- وَأشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ- اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى هذَا الرَّسُوْلِ الْكَرِيْمِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ
اَمَّا بَعْدُ فَيَا عِبَادَ اللهِ- أُوْصِيْكُمْ وَ اِيَاىَ بِتَقْوَى اللهِ وَلاَ تَـمُوتُنَّ اِلاَّ وَ اَنتُم مُسلِمُونَ
الله أكبر/ الله أكبر/ لا اله الا الله و الله أكبر/ الله أكبر و لله حمد /
Jama’ah shalat Iedul Adha yang dirakhmati Allah,
AlhamdulillaH segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan beragam nikmat pada pagi ini. Kesehatan, kelapangan risky bahkan yang paling utama dari segala nikmat yang diberikan yaitu nikmat iman dan islam sehingga dengannya kita bias dengan ringan, gembira bias berkumpul di tempat ini guna memperbaiki dan menjaga rasa beragama yang selama ini sudah kita jalankan.
Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, beliau Allah utus sebagai suri tauladan nyata dalam seluruh aspek kehidupan bagi kita semua, untuk menjadi seorang hamba yang taat, seorang anak yang peduli terhadap keselamatan orang tuanya dari adzab neraka, seorang suami yang bertanggungjawab terhadap istri-istrinya, seorang Ayah yang luar biasa membina anak-anaknya, seorang sahabat, partner bisnis, bahkan sebagai sosok pemimpin pun beliau contohkan begitu sempurna berkaca terhadap ajaran islam.


Jama’ah shalat Iedul Adha yang dirakhmati Allah,
Hari ini umat islam seluruh dunia kembali merayakan hari raya idul adha untuk tahun 1432 H. Lafadz takbir tahmid dan tahlil bergema dilantunkan oleh seluruh umat di seantero dunia.
لبيك اللهم لبيك، لبيك لا شريك لك لبيك، إن الحمد والنعمة لك والملك لا شريك لك
Tak kurang dari 3 juta kaum Muslimin dari seluruh penjuru dunia, termasuk 220.000 jemaah Hajji dari Indonesia,  menunaikan haji pada tahun ini. Khusus bagi bangsa indoesia dimana dari tahun ke tahun selalu mengalami penambahan quota, ini merupakan indicator munculnya kesadaran beragama. Tentu ini merupakan sebuah kebaikan yang perlu mendapat apresiasi.
Akan tetapi Jama’ah rahimakumulallah, di sisi lain di bumi Indonesia ini berbagai kejadian yang membuat kita yang menyaksikan tayangan tersebut baik yang bisa kita lihat di TV atau pun media yang lain harus mengusap dada, miris bahkan beristighfar saking sudah tidak beradabnya kejadian tersebut. Kejadian ini pun tentu perlu mendapatkan perhatian mengapa semua itu terjadi.
Jama’ah shalat Iedul Adha yang dirakhmati Allah,
Kalo kita menyimak apa yang selalu disampaikan khotib selalu tidak terlepas dari menyampaikan nasehat takwa. Dan tidak kurang dalam setiap minggu nasehat takwa itu selalu dingatkan kepada umat yang hadir dalam shalat jumáh. Kenapa itu dilakukan? Karena karakter takwa merupakan karakter utama umat Islam. Dengan nilai-nlai ketakwaan yang ada dalam dirilah, Umat islam mampu bangkit dan berkarya yang akan mendatangkan kebaikan kepada seluruh alam. Oleh karena itulah nasehat takwa senantiasa di sampaikan dalam setiap khutbah. Idealnya tentu ketika nasehat takwa disampaikan dan dicerna, kebaikan-kebaikan, suasana damai akan bermunculan di bumi Indonesia ini karena bumi Indonesia dihuni mayoritas umat islam.
Akan tetapi fakta berbicara lain Jama’ah rahimakumulallah, saling menghujad masih kita saksikan, berkonflik masih sering terjadi, sampai muncul pada sikap tidak lagi percaya terhadap satu sama lain. Kondisi ini tentulah jangan berlarut-larut, sebab ketika situasi ini berlarut-larut lama kelamaan akan membentuk sebuah karakter yang buruk. Saya yakin jamaáh sekalian tidaklah menginginkan karakter yang buruk itu muncul dikeluarga jamaáh kalian.
Oleh karena itu, kesempatan kali ini, marilah kita jadikan ajang intropeksi, melihat kembali pada diri sebaik apa diri kita, kita berkaca apakah diri kita ini adalah manusia yang memiliki karakter pada umumnya atau manusia yang memiliki karakter utama? Standar yang kita gunakan tentulah firman-firman Allah swt dan hadits nabi Muhamad saw karena kedua sumber itulah yang menjadi pusaka, rujukan bagi kita semua.
Mari kita renungkan ayat Allah swt yang menggambarkan karakter umum manusia ketika sebuah keadaan menimpanya:
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (16) [ الفجر 15-16]
Artinya: “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka Dia akan berkata: "Tuhanku telah memuliakanku". Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata: "Tuhanku menghinakanku"

Jama’ah shalat Iedul Adha yang dirakhmati Allah,
Ayat diatas menggambarkan karakter umum manusia ketika mendapatkan kesenangan dan musibah. Tentu ini tidaklah benar ketika kita pun berkarakter seperti gambaran ayat di atas. Kesenangan, kelapangan, harta berlimpah, anak-anak yang baik, suami yang penyayang, istri yang penurut, badan sehat atau pun kesempitan, menganggur, banyak hutang, anak-anak yang nakal, suami yang sering marah-marah, istri yang senengnya menggosip semua itu adalah cobaan dari Allah swt terhadap kita yang ada disekitarnya. Allah menunggu reaksi yang seperti apa yang akan kita munculkan terhadap kondisi yang datang kepada kita. Apakah kita akan ikut larut terhadap situasi tersebut atau kita tetap mampu melihat situasi tersebut dengan sikap mandiri dan berfikir berkemajuan?
Setiap kita selalu berhadapan dengan yang namanya masalah, jangan pernah sedikitpun terfikir bahwa si A mah tidak punya masalah. Si B mah idupya hidupnya enak karena dia mah pintar. Tidak!! Sekali-kali tidak, manusia semua dirudung permasalahan yang perlu diselesaikan. Kemampuan menyelesaikan masalah ini lah yang mampu membedakan manusia-manusia menjadi manusia yang mempunyai karakter utama, mandiri dan berkemajuan atau manusia yang berkarakter pada umumnya sebagaimana ayat dalam surat al Fajr diatas. Dengan masalah yang ada kita diuji untuk mampu menunjukkan karakter umat yang utama sebagai umat yang terpilih oleh Allah swt sebagai khalifah di muka bumi.

Jama’ah shalat Iedul Adha yang dirakhmati Allah,
Sekitar 200rb jamaáh haji dari Indonesia yang sekarang berada di tanah suci berusaha untuk memenuhi rukun-rukun haji dan melakukan berbagai macam kebaikan agar ibadah hajinya diterima Allah swt dan kembali ke Indonesia mempunyai harapan sebagai haji yang mabrur. Kalo kita merenungkan, berhaji sebenarnya merupakan sebuah upaya menjaga konsistensi sifat ketakwaan. Sebab, Allah swt berfirman terkait dengan pembahasan haji Allah swt Allah menyuruh kepada orang yang berangkat haji hendaklah membawa nilai takwa. Ayat itu berbunyi:
.......... وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ [البقرة : 197]
Artinya: “……… dan berbekallah sesungguhnya sebaik-baiknya bekal adalah takwa. Maka bertakwalah kepadaku wahai orang-orang yang berfikir”
Ibadah haji merupakan wahana bagi umat islam untuk mengupgrade, meningkatkan kesadaran dalam beragama. Kesadaran dalam memahami siapa sebenarnya kita, memahami untuk apa kita diciptakan, apa yang seharusnya dilakukan dalam hidup ini sehingga kebaikan yag selalu di idam-idamkan tidaklah terjadi di akherat nanti akan tetapi ketika kita di dunia pun kebaikan, kelapangan, kenikmatan dan yang utama keridhoan dari Allah swt pun bisa kita nikmati. Bukankah selama ini kita melantunkan doá rabbanaa attinaa fiddunya hasanah wa fil aakhiroti hasanah qa kina adzaabannar? Lantas usaha apa yang sudah kita lakukan dalam rangka menyambut kebaikan itu. Sebab sebagaimana firman Allah taála:
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ ........ [النور : 26]
Artinya: “wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)………….. ”
Ayat di atas menggambarkan ketetapan sunatullah Allah taála dalam memberikan balasan, mengabulkan doá terhadap hamba-hambanya yang meminta. Tentu menjadi baik adalah sesuatu yang harus diupayakan ada dalam diri kita. Sebagaimana perkataan imam al Ghazali dalam mendefinisikan akhlaq. Bagi beliau akhlaq adalah sesuatu reaksi spontan yang dilakukan oleh seseorang tanpa lagi berfikir terhadap apa yang dilakukannya. Sesuatu menjadi bisa karena biasa, sesuatu menjadi biasa karena dibiasakan.
Jamaáh rahimakumullah, saudara-saudara kita yang sedang berhaji tentunya mengkondisikan diri menyerahkan diri kepada Allah taála untuk di gembleng agar terbiasa menjadi orang yang baik. Selama kurang lebih 40 hari temasuk perjalananannya orang-orang yang berangkat haji membiasakan diri terhadap kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan. Kalaulah mereka meniatkan betul menyerahkan diri kepada Allah swt untuk dididik dalam manasik haji, tentulah kebaikan atau predikat menjadi haji mabrur betul-betul telah mereka raih.
Jamaáh rahimakumullah, tentu harus ada pertanyaan besar dalam diri kita yang belum bisa berangkat ke tanah suci, apa yang bisa kita lakukan agar kita pun bisa menjadi orang-orang yang istimewa, orang yang utama, mandiri dan berfikiran maju dalam menghadapi persoalan yang terjadi dalam hidup kita. Tentulah kita ingin kita termasuk dalam orang-orang pada umumnya sebagaimana gambaran al qurán pada ayat pertama yang kita bahas tadi.
Mari kita belajar dari sahabat Rasulullah saw, Sufyan bin Abdullah ketika dia bertemu dengan Rasulullah saw. Sufyan bin Abdullah meminta kepada Rasulullah saw suatu kalimat, yang dengan kalimat tersebut dia cukup untuk berislam dengan baik dan benar dan dia tidak memerlukan penjelasan lain selain dari kalimat yang rasulullah saw samapaikan tersebut. Rasulullah saw bersabda: Qul amantu billah tsummas taqaamu[3] (katakanlah: Aku beriman kepada Allah lalu beristiqamahlah (dengan perkataanmu).
Kalimat yang simple namun padat makna. Kalaulah kita betul-betul ingin menjadi umat yang utama, mandiri dan berfikir maju tentulah harus bertanya apa makna, kandungan yang tersimpan dalam redaksi hadits tersebut. Sebab sahabat Sufyan bin Abdullah pun merasa cukup terhadap statement hadits tersebut untuk dijadikan guide, patokan dalam berislam. Maka jamaáh rahimakumullah perlu pula kita perdalam pemahaman terhadap redaksi tersebut.
Mari kita perhatikan redaksi hadits tersebut. Qul amantu billah tsummastaqaamuu”. Ada dua redaksi yang menggambarkan dua aktifitas. Amantu dan istaqaamu. Amantu bermakna aku beriman. Beriman merupakan sebuah aktifitas, upaya yang dihadirkan oleh diri untuk mempercayai, menyerahkan dan menggantungkan harapan terhadap dzat yang dikita klaim, kita anggap mampu memberikan semua itu. Dalam prakteknya sesuai dengan hadits ini tentu dzat yang kita klaim, yang kita anggap  mampu memberikan semua itu adalah Allah swt. Pertanyaan yang harus kita jawab saat ini adalah sejauh apa, sekuat apa, selepas apa kita mempercayai, menyerahkan dan menggantungkan harapan kita ini kepada Allah swt????
Masihkah kita terbersit dalam diri ketika kesehatan kita menurun lalu berobat ke dokter maka akan sembuh karena kita berobat kepada dokter tersebut??? Yakinkanlah dalam diri bahwa dokter hanyalah wasilah perantara kesembuhan yang Allah hadirkan untuk kita.
Masihkan terbersit ketika kita gagal melakukan perjanjian bisnis disebabkan karena Allah swt tidak saying kepada kita?? Yakinkanlah dalam diri bahwa kondisi tersebut cara Allah menumbuhkan jiwa kreatifitas dalam diri kita. Bisa jadi justru ketika perjanjian bisnis itu terjadi malah kehancuran, kehinaan dalam diri ini lebih besar daripada rasa sakit ketika perjanjian bisnis itu batal. Segala hal didunia ini mungkin terjadi.
Masihkah terbersit dalam diri ketika kita mempunyai kendaraan yang terbaik pada masa ini, jabatan yang prestisius dimana ribuan orang memperebutkannya dan anda sudah mendapatkannya sekarang bahwa itu semua adalah hasil kerja keras anda semata?????? Yakinkan dalam diri bahwa itu adalah sarana yang Allah swt berikan kepada kita untuk selalu bisa bersyukur dan berbuat kebaikan lebih dari biasanya.
Masihkan terbersit dalam diri kita ketika kita atau anak-anak kita mempunyai kemampuan intelektual yang bagus. Menjadi juara umum dalam setiap event, perlombaan dan di kelas merupakan hasil dari belajar siang malam kita selama ini??? Yakinkan dalam diri bahwa itu semua kebaikan yang Allah berikan agar kita mampu menjawab, menjadi orang yang bisa memberikan solusi terhadap persoalan umat yang sedang terjadi.

Jama’ah shalat Iedul Adha yang dirakhmati Allah,
Kata kedua yang menggambarkan aktifitas adalah istaqaamu. Yang berarti bersikap istiqamahlah kamu. Istiqamah yang perlu kita fahami sekarang ini sebagai cara kita untuk menjadi umat yang utama, mandiri dan berfikiran maju tidaklah hanya terbatas kepada pemaknaan konsisten, continue, komitmen dan berkesinambungan. Akan tetapi cobalah kita memahami kata istiqamah berikut sifat-sifat yang melekat pada kata istiqamah tersebut berdasar pada kaidah taat bahasa arab yang ada.
Kata istiqamah selain bermakna berkesinambungan atau terus-menerus, ternyata mengandung pemaknaan seperti pelindung, bertanggungjawab, mengurusi, bernilai, kedudukan. Artinya, ketika kita bersikap isiqamah maka haruslah muncul dalam sikap istiqamah ini sikap yang bertanggungjawab, menjadi pelindung, mengurusi. Sehingga dengan bersikap istiqamah, orang tersebut siminta atau tidak akan memiliki nilai yang  berbeda berkedudukan dan menjadi kaum yang istimewa. Itulah imbalan bagi orang-orang yang beristiqamah.

Jama’ah shalat Iedul Adha yang dirakhmati Allah,
Pertanyaanya sekarang, sudah sejauh apa kita beristiqamah dalam beragama ini?? Sudah senyaman apa kita merasakan nikmatnya beribadah?? Apakah masih terasa ibadah kita hambar?? Apakah pelaksanaan ibadah kita baru sekedar menuntaskan sebuah kewajiban. Dimana setelah selesai melakukan ibadah tersebut kita tetap dalam tatanan social yang egosimenya tinggi, masih tetap dalam kondisi tidak menghargai tetangga sekitar?? Terhadap orang yang membutuhkan masih bersikap kasar??
Kalo memang itu yang masih terasa perlulah kita menimbang kembali sikap istiqamah kita dalam beragama. Kita semua tentu berharap menjadi Negara yang mendapatkan keberkahan dari langit dan bumi. Menjadi sebuah baldatun toyyibatun wa robbun ghaffur[4]. Sebuah negeri yang mendapatkan kebaikan dan ampunan dari Allah swt. Akan tetapi bagaimana mungkin itu datang jikalau kita masih belum istiqamah dalam beragama??
Oleh karena itu jamaáh rahimakumullah marilah kita bangkit dan memperbaiki sikap beragama kita dengan mengawali memperbaiki sikap beriman dan istiqamah kita. Walaupun tahun ini kita belum mendapat kesempatan berhaji, akan tetapi dengan belajar merenungkan apa yang menjadi nilai-nilai yang terkandung dalam haji dan mencoba mempraktekan dalam kehidupan kita sehari-hari maka insya Allah kemabruran itu dengan sendirinya akan datang kepada kita.
Marilah diakhr khutbah ini kita berdoá kepada Allah swt:
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله حمدا يوا في نعمه ويكافئ مزيده يا ربنا لك الحمد كما ينبغي لجلال وجهك وعظيم سلطانك () اللهم صل وسلم علي محمد وعلي آله واصحابه اجمعين وارحم برحمتك يا ارحم الراحمين () اللّهُمَّ اغْفِرْ للْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ و الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الأحياء منهم و الأموات انك سميع قريب مجيب الدعوات و قاضى الحاجات.
Allahumma ya Allah, ampunilah kami, ampunilah kedua orang tua kami, yang masih hidup maupun yang telah mendahului kami, juga para pemimpin kami,
Allahumma ya Allah,Hari Raya Haji dan Hari kurban ini terlalu mahal untuk kami biarkan berlalu sekedar sebagai ritual keagamaan kami, cerahkanlah kami ya Allah, bukakanlah dan sadarkanlah mata hati kami untuk menyadari fungsi kami kembali sebagai khalifahMU di bumi, untuk kembali menanamkan roh tauhidMu sebagai dasar dari jati diri Muslim kami, dan sebagai pembawa risalah peradaban Islam di muka bumi.
Allahumma ya Allah, lindungilah, rahmatilah kami kaum Muslimin dan Muslimat serta Saudara-Saudara kami yang sedang memenuhi panggilanMU di tanah suci, agar mereka dapat melaksanakan ibadah Haji sesuai dengan petunjuk dan tuntunanMu dan kembali ketengah keluarga dan bangsanya sebagai haji mabrur.
رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ ()رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ ()رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ () رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ () رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ سبحانك رب العزة عما يصفون وسلام على المرسلين والحمد لله رب العاملين.




[1] Disampaikan pada moment Idul Adha, 10 Dzulhijjah 1432 H bertepatan dengan 06 November 2011 M di Sangatta, Kutai Timur
[2] Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sukabumi periode 2010-2015
[3] Hadits riwayat muslim dari sahabat sufyan bin Abdullah
[4] Q.s saba ayat 15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar